JURNAL PENGKAJIAN
KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI BIDANG PEMBIAYAAN
PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA*)
Abstract
The purpose of this study : (1) to draw up a cooperative
development center regental budgetary domain, (2) to give input to the regental
administrator in its effort to create a condusive slimate for cooperative
development. This study was conducted in
20 provinces. Its study method consists of library study, primary and secondary
data collection, study analysis was conducted in various ways, namely : teoris,
and exepertise validity. Based on study
result, we can conclude that alternative model for cooperative development
center in regental budegetary domain are : (1) cooperation model amongcooperatives
is by operating waralaba (non profit shop), (2) secondary cooperative model,(3)
model of cooperation between secondary cooperative and bank, (4) people creditingbank,
(5) cooperation of primary bank and swamitra/partnership bank.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak
negatif hingga kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan
antara lain : (1) turunnya daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya
usaha-usaha yang dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk UKM dan
usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya sumber-sumber
pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.Salah satu
permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro dalam
mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal
usaha yang dimiliki dan rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga
keuangan, baik lembaga keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga
keuangan non bank (KSP/USP Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal,
dll).Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan UKM
dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/ USP
Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan konsekuensi
logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang memungkinkan
kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu mengakses atau
memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.*) Hasil Kajian
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan Pengelolaan
Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono
dan Siti Aedah)
a. Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir
untuk mencari alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah,
dikaitkan dengan penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di
bidang pembiayaan dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat
dilayani koperasi dibidang pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat
dikembangkan dan analisis terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan
teknologi. Berbagai hambatan dan
kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam menkonstruksi
model alternatif yang dihasilkan. Model
pemusatan alternatif merupakan solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan
dalam rangka membangun sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang
pembiayaan.
b. Batasan Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh
konstruksi model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara
nasional. Mengingat dinamika otonomi
daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah mempunyai
variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya koperasi
simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka model-model
yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan kelemahan
masing-masing.
c. Rumusan Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan
usaha kecil dan menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan
sistem keuangan, baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong
maupun pembentukkannya diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan
perbankan seperti Kredit Investasi Kecil (KIK).
Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil yang relatif baik,
akan tetapi belum dapat dikatakan optimal.
Untuk itu, diperlukan pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model
kelembagaan keuangan dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan di daerah yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan
lembaga keuangan.
3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan
alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di
tingkat Kabupaten/ Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat
ini. Secara khusus tujuankajian ini
adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda Kabupaten/Kota
dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan perkoperasian.
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai
bahan masukan bagi pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan
pemberdayaan Koperasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan
sumber kegiatan perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di
wilayah pedesaan maupun perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha,
baik pertanian, perdagangan, industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah
usaha kecil dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha
atau mencapai 99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu
menyerap tenaga kerja lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46. Kementerian
Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan pengembangan ekonomi lokal
telah melaksanakan berbagai program antara lain program pengembangan sentra UKM
dukungan MAP dan BDS, program pengembangan keuangan mikro melalui kompensasi
subsidi BBM, serta program pengembangan dibidang peternakan, perkebunan dan
sebagainya. Program-program tersebut
merupakan stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi pengembangan economic and
social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, yaitu
koperasi dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/ Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam
rangka upaya dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi
KSP/USP pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas
dan efisiensi dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa
pertimbangan yang merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada
keberhasilannya dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar
koperasi. Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi,
pendidikan dan pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama
usaha yang dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan
koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi
pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang
menjadi salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
III. METODE
1.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim,
Bali, Sulut, Sumbar, Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB,
Babel, Sulsel, Kalbar, Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.
2. Metode dan
Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data
primer maupun sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat
ditangani koperasi, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan,
ketersediaan lembaga keuangan, lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP
dan perkembangan KSP/USP, serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing
Kabupaten/Kota.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten
Pati, Jawa Tengah Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten
Pati sebanyak 75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk dalam
klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah. Bhakti
Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya menjadi
kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola oleh
masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti
Group dipimpin oleh Bapak Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun
berkembang dan berhasil menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan
anggota yang berhasil dihimpun 143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan
tetap. Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk
mencapai keberhasilannya adalah :
- Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota, membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,baik anggota maupun pengurus.
- Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau dari kemampuan teknis maupun non teknis.
- Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya. Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan dibaiat(disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan, manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan ke pengadilan.Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
- Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil kapan saja.
- Manajemen menganut falsafah mudah, cepat dan meriah, Mudah dalam arti prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin, bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran kecil sampai menengah.
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak
dinyatakan berhasil dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke
daerah lain. Koperasi Simpan Pinjam
tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5 Januari 1996 dengan modal
awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan
Bank Indonesia dan Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999 yang
antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan Hukum
Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan sistem
syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil.
Pendirian BTM Wiradesa ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses
permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten Pekalongan. Sampai dengan September
2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai Rp. 2 milyar lebih dengan total
aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman yang diberikan pada periode
yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih. Untuk mempermudah pengelolaan dana dan
sebagai penyangga likuiditas, maka dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder
berupa berupa Pusat KSP BTM Wiradesa.
Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi
ukuran pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di
koperasi primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman dana dari koperasi sekunder
ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100%
dana pinjaman berasal dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil
keuntungan untuk koperasi primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan
sistem sindikasi dana pinjaman tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi
antara koperasi sekunder dan koperasi primer dengan proporsi pinjaman tertentu
sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan
besarnya proporsi jumlah pinjaman .
3. Alternatif Model
Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan,
model kelembagaan pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi
primer dengan pola waralaba (franchising), koperasi sekunder, kerjasama
koperasi sekunder dengan bank, kerjasama koperasi primer dengan bank dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan
Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada
kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar
koperasi primer. Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan
kelompok koperasi bhakti dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi,
namun antar koperasi dalam kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak
kerjasama secara eksplisit. Koordinasi pengelolaan
dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi pengelolaan
dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan pengembangan
koperasi. Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok
Koperasi Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan
pembiayaan antara lain sebagai berikut :
·
Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah
dilakukan dengan adanya karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi
baru.
·
Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput
bola maka memungkinkan penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar
dan peningkatan pangsa pasar.
·
Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat
standarisasi dan sinkronisasi manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya
dimiliki oleh anggotanya yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi
berada.
·
Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara
terbuka dan sukarela sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan
berkelanjutan serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
·
Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track
record) yang cukup panjang dan memiliki
brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki peluang sebagai
suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam yang dapat diaplikasikan
pada pengembangan koperasi simpan pinjam.
2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan
yang diperlukan untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh
koperasi sekunder secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan
internasional. Fungsi- fungsi kegiatan
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang keuangan yang
terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam (interlanding)
dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiriatas
konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit,
pengadaan sarana usaha dan audit. Keungulan
koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi adalah :
·
Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik
secara lokal, nasional maupun internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
·
Penerapan
koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin penerapan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin terwujudnya cita-cita
koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi anggota
koperasi.
3) Model Bank
Perkreditan Rakyat
Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau
keleluasaan yang lebih besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus
keleluasaan dalam penyaluran dana.
Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk menghimpun
dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya Keunggulan BPR sebagai model
pemusatan pengembangan koperasi antara lain adalah :
·
Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan
dalam menghimpun dana baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga
keuangan sebagai konsekuensi bentuknya berupa bank.
·
Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk
menyalurkan dana kepada masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau
pemegang saham dalam keadaan kelebihan dana.
·
BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan
yang ketat dapat menjadi referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang
baik (good corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.
4)
Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah
sebagaimana yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri,
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
dengan Bank Kesejahteraan Ekonomi. Dalam
hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau, Inkopal,
dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank Kesejahteraan
Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi. Keunggulan model ini adalah :
·
Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota
koperasi dari Bank Kesejahteraan Ekonomi.
·
Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun
dana dari lembaga keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank
Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk
pola Swamitra merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan
kerjasama koperasi primer dengan bank.
Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan aplikasi manajemen
simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan sumberdaya manusia,
aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan pinjam,
pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan dan
pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam. Keunggulan
pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar koperasi primer
dan bank pola Swamitra, antara lain :
·
Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP
secara lengkap sehingga memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
·
Terdapat
sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh bank.
·
Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang
disediakan secara bertingkat, baik di koperasi maupun di bank.
·
Terdapat
standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan dikembangkan
jaringan kerjasama.
·
Memiliki
kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan citra bank
pendukungnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra
usaha unggulan adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industry
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan konveksi
rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam
sentra tersebut berupa usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau
teknologi dan tidak melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan
baku bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya
lebih tepat dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan
pinjam, karena kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen simpan
pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan sarana usaha
dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang
pembiayaan pada tingkat Kabupaten/Kota adalah : (a) kerjasama antar koperasi dengan pola waralaba,
(b) koperasi sekunder, (c) kerjasama koperasi sekunder dengan bank, (d) Bank
Perkreditan Rakyat, (e) kerjasama koperasi primer dan bank dengan pola
Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu
Kabupaten/Kota tidak harus dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model
tersebut diatas dengan maksud agar dapat mempertahankan ciri masing-masing
keunggulannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar